Dr. Ir. I Gde Wenten, M.Sc. dosen pada Departemen Teknik Kimia ITB menemukan pompa tangan pemurni air yang menggunakan teknologi membrane yang diberi nama IGW Emergency Pump.
Atas jasanya tersebut, pada hari Rabu 21 Agustus 2013, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menganugerahkan B.J Habibie Technology Award atas perannya mendirikan industri membran pertama dan satu-satunya di Indonesia.
Industri membran yang dibuat Wenten mengembangkan IGW Emergency Ultrafilter dan IGW Green Ultrafilter, yaitu pompa yang dilengkapi filter untuk menyediakan air bersih dalam kondisi darurat.
Keistimewaan perangkat ini adalah cara pengoperasiannya yang cukup menggunakan tangan tanpa disertai tenaga listrik. Adapun IGW merupakan kependekan dari namanya.
Pompa ini juga bersifat portable atau mudah dibawa ke mana saja. Alat ini juga memiliki tingkat selektivitas yang tinggi sehingga mampu menghilangkan kekeruhan, bakteri, alga, spora, sedimen, kuman, dan koloid.
Wenten menyebutkan, satu unit pompa IGW bagi rumah tangga dijual mulai Rp 70 ribu. Sedangkan bagi industri, satu unitnya dijual hingga miliaran rupiah. "Untuk industri pompa ini salah satunya digunakan sebagai penyaring minyak sayuran," ucap dia.
Menurutnya, teknologi membrane adalah teknologi pemisahan yang kerjanya di level molekul dan berukuran nano atau sangat kecil sekali.
Pompa ini praktis, bekerja tanpa listrik, mudah dibawa, relatif murah, kapasitas tinggi, pemasangan sederhana, ramah lingkungan, dan sangat cocok untuk kondisi darurat, seperti di tempat pengungsian saat terjadi bencana, camping, ekspedisi, dan juga di daerah yang rawan air bersih.
“Pompa ini kecil bahkan bisa dikempit tetapi kapasitasnya cukup besar, bekerjanya dengan dipompa oleh tangan, kemudian tidak pakai bahan kimia dan pemanasan, tetapi efektif sekali menghilangkan mikroba (bakteri) dan kekeruhan”, ujar Wenten.
Pompa ini seperti pompa sepeda, hanya di dalamnya diisi filter membrane, yang mempunyai saringan halus sekali, yang hanya bisa dilihat dengan mikroskop elektron. Wenten satu-satunya di Asia Tenggara yang mengembangkan alat berbasis membran.
Kata Wenten, alat ini bisa digunakan untuk mengurangi penggunaan air di tingkat rumah tangga, terutama di daerah yang curah hujannya kecil, utamanya untuk mandi-cuci. Setelah mandi dan cuci, airnya jangan dibuang, bisa dipompa lagi dengan alat ini, dan besoknya bisa dipakai kembali. Alat ini juga bisa dipakai untuk radiator mobil dan berguna bagi nelayan.
Awalnya IGW Emergency Pump ditujukan untuk daerah yang terkena bencana. Dimulai ketika terjadi Tsunami Aceh 2004. ketika itu kebutuhan akan air bersih dirasa sangat mendesak. Alat yang ada ternyata membutuhkan listrik, sementara listrik sangat sulit didapat di daerah bencana. Akhirnya Wenten-pun menciptakan pompa tangan yang bisa memurnikan air hingga bisa dipakai menjadi air minum, mandi, dan masak.
Air yang digunakan untuk dimasukkan pompa bisa berasal dari mana saja, bahkan dari air limbah sekalipun. Tapi yang harus diperhatikan limbah yang dimaksud bukanlah limbah yang mengandung toxic atau racun, karena hal ini sangat tidak disarankan.
Mekanismenya, air disedot melalui saluran air, setelah pompa ditekan, air keluar adalah air bersih dengan kualitas sangat tinggi. Kalau air berasal dari air keruh di pedesaan atau daerah rawan bencana bisa langsung diminum. “Tetapi kalau di Jakarta dimana kontaminasi industri tinggi, jangan diminum, karena mungkin sekali mengandung arsenik, chrom atau sianida yang tidak dapat dihilangkan,” tegas Doktor lulusan Denmark ini.
Awalnya Wenten hanyalah seorang anak nelayan yang tidak berkeinginan kuliah tinggi karena berlatar belakang dari keluarga kurang mampu. Pria kelahiran 15 Februari 1962 ini menghabiskan masa kecilnya di Desa Pengastulan Buleleng, Bali. Tidak mudah jalan yang dilalui Wenten untuk mencapai keberhasilannya seperti sekarang ini. Pria yang di Eropa dikenal sebagai revolusioner terbesar industri bir dalam lima puluh tahun terakhir ini merupakan bungsu dari 11 bersaudara. Wenten sempat berhenti sekolah ketika SMA dikarenakan masalah finansial, namun rupanya kesulitan-kesulitan yang Wenten muda alami turut membentuk pribadinya yang mandiri dan pekerja keras. Ayah Wenten, Made Sarta (almarhum) bekerja sebagai buruh nelayan yang menyewa perahu, tetapi hal tersebut tidak lantas menjadikan orang tua Wenten mengesampingkan pendidikan anak-anaknya. "Meski mereka tidak banyak bercerita, saya sangat merasakan kasih sayang mereka. Mereka dedikatif sekali untuk menyekolahkan anak-anaknya. Segala usaha mereka kerahkan," tukas Wenten.
Beranjak SMA, orang tua Wenten meninggal dunia. Wenten berusaha tegar dan tetap bertekad untuk meneruskan sekolahnya, "Keberhasilan saya banyak dibantu oleh nasib. Waktu itu saya seperti kehilangan induk. Saya bisa lulus, dan bahkan kuliah di Bandung juga karena ngikut orang," selorohnya. Wenten selalu berusaha untuk terus belajar, latar belakang ekonominya membuat Wenten selalu memaksimalkan setiap kesempatan yang ditemuinya hingga sekarang banyak prestasi dan dedikasi yang ia berikan.
Selanjutnya, Wenten mengawali pendidikan tingginya di Jurusan Kimia ITB tahun 1982. Lulus dari ITB pada tahun 1987, Wenten kemudian melanjutkan studinya di Denmark Technology University, Kopenhagen. Wenten meraih gelar master bioteknologi tahun 1990 dan sekaligus program teknik kimia pada tahun 1995 di Denmark Technology University. Ketika mengambil program masternyalah, Wenten pertama kali menekuni bidang teknologi membran. Wenten bisa dibilang merupakan peneliti yang loyal dalam penelitian, dibuktikan dengan berbagai penghargaan yang ia raih sampai saat ini.
Tahun 1994, Wenten memperoleh paten dari alat yang ia kembangkan untuk peningkatan penyaringan pada industri bir. Wenten berhasil menemukan cara baru filtrasi bir memakai selaput membran. Kelebihan membran ciptaannya adalah tetap terjaganya mutu protein bir. Selain itu, limbah produksi pabrik bir tak lagi mencemari lingkungan. Media Eropa menyebut penemuan itu sebagai revolusi terbesar bagi industri bir dalam 50 tahun terakhir. Sehingga pada tahun yang sama, Wenten pun kembali meraih penghargaan tertinggi dari Filtration Society London berupa Suttle Award, sebagai bukti tingginya nilai inovasi temuannya, sebuah penghargaan yang hanya dianugerahkan kepada peneliti di bawah usia 35 tahun. Sejak tahun 2002, Wenten membangun pabrik pembuatan membrane di Bandung. Pabrik tersebut memproduksi berbagai alat yang kesemuanya menggunakan teknologi membran dan pembuatannya dilakukan oleh putra bangsa ini sendiri. (berbagai sumber)
No comments:
Post a Comment